Minggu, 11 Oktober 2015

IBU..


Ibu.. kau wanita mulia, mengajarkan padaku arti hidup dan perjuangan
Mencontohkan padaku indahnya kesabaran dan keikhlasan
Kutiti hidup ini dengan tuntunan lembut tanganmu
Lembut suaramu mengujarkan kata penuh kasih,
mengantarkan tidurku ke alam mimpi
Hatimu sebening telaga, tempatku menghilangkan dahaga karena dunia fana
Ibu, kau mencintaiku seperti matahari mencintai bumi, yang tak pernah barharap untuk kembali
Bagiku kau adalah guru, kau adalah bidadari
Kau contoh kebijaksanaan, kau cermin ketulusan, kau simbol kasih sayang, yang mengisi dunia penuh cinta
Tuhan....
terimakasih telah kau kirimkan seorang wanita mulia dalam hidupku, sehingga aku tahu untuk apa aku hidup..

Minggu, 21 Juli 2013

Wajah Seribu Cerita di Pasca UNP 2012


di kajian wacana 2013





ANALISIS KEMAMPUAN SINTAKSIS BAHASA KEDUA
 ANAK USIA 5-6 TAHUN  TAMAN KANAK-KANAK (TK) ALQURAN
KOTA PADANG PANJANG

Mezri Helti

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang 2012

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan sintaksis bahasa kedua pada anak-anak usia 5-6 tahun. Subjek penelitian adalah peserta didik Taman Kanak-kanak (TK) Alquran Kota Padang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak usia 5-6 tahun pada TK Alquran, memiliki kemampuan menghasilkan kalimat tunggal dan kalimat majemuk, serta mampu menggunakan bentuk kalimat berita, kalimat tanya, kalimat perintah, dan kalimat seru. Kemampuan bahasa kedua pada anak masih dipengaruhi oleh bahasa ibu. akibatnya muncul campur kode dan alih kode dalam tuturan yang dihasilkan oleh anak. Anak-anak akan memilih menggunakan bahasa kedua, yaitu bahasa Indonesia jika berinteraksi dengan guru. Sementara itu, anak akan memilih menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa Minang jika berkomunikasi dengan teman sebaya. Anak usia 5-6 telah memiliki kemampuan menghasilkan kalimat dalam bahasa kedua dan menggunakannya sesuai dengan konteks serta lawan bicara.

Kata kunci    : pemerolehan bahasa, kemampuan sintaksis, bahasa ibu, bahasa kedua campur kode, dan alih kode.
A.  PENDAHULUAN

Setiap manusia dalam kehidupannya setidaknya memperoleh satu bahasa alamiah. Setiap anak yang tumbuh normal dan pertumbuhannya wajar memperoleh satu bahasa yaitu bahasa pertama atau bahasa asli (bahasa ibu) dalam tahun-tahun pertama kehidupannya. Akan tetapi dalam perkembangannya seorang anak bisa saja menggunakan dua bahasa semenjak ia lahir, misalnya apabila ayah berbahasa Sunda, dan ibu berbahasa Jawa maka dalam hal ini masih disebut pemerolehan bahasa pertam, namun bukan satu tetapi dua bahasa atau dwi bahasa yang merupakan bahasa pertama.
Pemerolehan bahasa anak terjadi secara bertahap. Terkait dengan hal tersebut, Darjowidjojo (dalam Tarigan, dkk., 1998) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa anak itu tidaklah tiba-tiba atau sekaligus, tetapi bertahap. Kemajuan kemampuan berbahasa mereka berjalan seiring dengan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosialnya. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak ditandai oleh keseimbangan dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana tak bermakna, dan celotehan bayi merupakan jembatan yang mefasilitasi alur perkembangan bahasa anak menuju kemampuan berbahasa yang lebih sempurna. Bagi anak, celoteh merupakan semacam latihan untuk menguasai gerak artikulatoris (alat ucap) yang lama kelamaan dikaitkan dengan kebermaknaan bentuk bunyi yang diujarkannya.
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).
Tarigan (2011:103) berpendapat bahwa pembelajaran bahasa kedua pada anak dimulai apabila pemerolehan bahasa pertama telah lewat, akan tetapi dalam hal ini sangat sulit menentukan batas yang pasti dan nyata antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua, selain adanya alasan sederhana bahwa pemerolehan bahasa kedua mulai sebelum pemerolehan bahasa pertama menjelang akhir.
Bahasa pertama dapat mempengaruhi penggunaan bahasa kedua. Dalam pembelajaran bahasa kedua seorang anak terkadang masih mencampurkan pemakaian kosakata bahasa pertama dengan bahasa kedua, selain itu terjadi juga kesalahan dalam penyusunan kalimat dan pengucapan bahasa kedua, yang dipengaruhi oleh penyusunan kalimat dan pengucapan bahasa pertama. Hal ini juga ditegaskan oleh Corder (1976) dalam Ellis (1995) yang menyatakan bahwa peserta didik membentuk hipotesis tentang sifat struktural dari bahasa target berdasarkan data input. Dari pernyataan Corder tersebut, bahwa anak-anak membangun bahasa keduanya berdasarkan pengetahuan pada bahasa pertama.
Mengacu pada penguasaan bahasa kedua, menurut Ellis (dalam Chaer. 2003: 243), ada dua tipe pembelajaran bahasa, yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat. Tipe kedua bersifat formal dalam kelas, namun kenyataannya hasilnya masih belum memuaskan.
Anak usia 5 tahun, perkembangan bahasanya telah mencapai tingkat yang semakin baik dan sempurna. Anak telah memiliki perbendaharaan kosakata yang kaya dan pembentukan kalimat yang bervariasi. Terkait dengan itu, Tompkins dan Hoskisson dalam Tarigan dkk. (1998) menyatakan bahwa bahasa anak umur 5-6 tahun telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian besar aturan gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin bervariasi. Anak telah mampu menggunkan bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai keperluan, termasuk bercanda atau menghibur. Demikian juga dengan pemerolehan bahasa keduanya. Anak-anak membangun pengetahuannya tentang bahasa kedua dengan belajar dan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan.
Penelitian yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa telah banyak dilakukan. Diantaranya yaitu, pertama penelitian yang dilakukan oleh Catur Adi Wicaksono yang berjudul “ Pemerolehan Kalimat pada Anak Autis Slow Learner di SDN Klampis Ngasem 1 No 246 Surabaya Suatu Studi Kasus”.  Dari hasil penelitiannya Catur menyimpulkan bahwa pemerolehan kalimat pada anak Autis Slow Learner masih tergolong sangat sederhana. Hal tersebut ditandai dengan adanya kemampuan ujarannya yang hanya sebatas ujaran satu kata dan dua kata. anak sering melesapkan fungsi subyek dalam ujarannya. Hasil dari ujaran kemudian dikategorikan ke dalam bentuk-bentuk kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat eksklamatif. Peneliti menggolongkan kalimat yang mampu dihasilkan anak Autis Slow Learner ke dalam kalimat tunggal yang ber-nomina, verba, adjectival, dan numeral. Hasilnya, tidak ada kalimat yang menggunakan unsur numeral dalam ujarannya.
            Kedua, penelitian yang dilakukan oleh  Dyah Rahmawati, dkk. Yang berjudul “Penguasaan Kosakata Bahasa Indonesia pada Anak Usia Prasekolah”. Dari hasil penelitiannya Diyah Rahmawati, ddk. menemukan bahwa kuantitas ragam kosakata bahasa Indonesia pada anak usia prasekolah berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor usia, jenis kelamin, dan kondisi lingkungan keluarga. Di samping itu, perbedaan masukan (input) yang diterima masing-masing anak juga turut berpengaruh dalam kuantitas ragam kosakata yang dikuasai anak. Pada ruang lingkup kosakata bahasa Indonesia yang dikuasai anak usia prasekolah, ditemukan tiga puluh ruang lingkup kosakata bahasa Indonesia yang telah dikuasai anak. Tiga puluh ruang lingkup tersebut mengacu pada hal-hal yang bersifat konkret atau nyata. Ketiga puluh ruang lingkup kosakata tersebut di antaranya adalah nama diri, kekerabatan, ukuran, jenis tanaman, keadaan, bilangan, profesi, persetujuan/penolakan, jenis kelamin, aktivitas, perlengkapan diri, barang elektronik, nama-nama hari, jenis buah-buahan, jenis-jenis warna, makanan dan minuman, perabot rumah tangga, benda-benda universal, perlengkapan sekolah, jenis-jenis mainan, jenis-jenis binatang, bagaian-bagian tubuh, transportasi, jenis-jenis sayuran, teknologi, agama, tempat, tujuan, rasa, dan bentuk.
            Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Agung Prestyo, dkk, yang  berjudul “Analisis Kemampuan Penguasaan Kosakata Baru pada Anak Pos Paud Mutiara Semarang Melalui Metode Glenn Doman”. Agung Prastyo, dkk, menyimpulkasn bahwa metode yang tepat diterapkan untuk mengajarkan kemampuan membaca pada anak usia dini adalah metode Glenn Doman. Metode Glenn Doman menggunakan Flash Cards sebagai media belajar utama yakni berupa gambar tersaji dalam bentuk kartu yang terbuat dari kertas. Dalam penelitian ini dilakukan 4 tahap pengajaran, yaitu: Tahap I (Latihan Perbedaan Penglihatan), Tahap II (Pengenalan Diri), Tahap III (Rumahku), dan Tahap IV (Gabungan 2 Kata). Pada setiap kelanjutan tahap, ukuran kertas Flash Cards yang digunakan akan semakin mengecil tetapi tidak secara signifikan. Metode ini diterapkan secara bertahap dan dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Di setiap pertemuan, murid-murid mempelajari 5 kosa kata baru dalam waktu 1 detik, diulang sebanyak 3 kali dalam satu putaran, dan akan diulang lagi 3x putaran dengan jeda 1,5 jam. Dalam praktiknya ditemukan perubahan signifikan terhadap pencapaian hasil belajar membaca pada anak usia dini.
Penelitian yang telah dilakukan di atas, menunjukkan bahwa anak menguasai bahasa secara bertahap sesuai dengan umur dan perkembangan mentalnya. Selain itu, analisis penguasaan bahasa pada anak dapat dilakukan dengan metode tertentu, seperti metode Glenn Doman. Sementara itu, penelitian yang penulis lakukan berkaitan dengan kemampuan sintaksis bahasa kedua pada anak usia 5-6 tahun. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kemampuan sintaksis bahasa kedua anak usia 5-6 tahun di TK Alquran Kota Padang Panjang, dan bagaimana pengaruh bahasa ibu terhadap kemampuan sintaksis tersebut.

Jumat, 23 November 2012

Peranan Kosakata


PERANAN  KOSAKATA DALAM  MENULIS PARAGRAF
 INDUKTIF DAN DEDUKTIF


Mezri Helti

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang 2012

Abstrak
Keterampilan menulis diperlukan untuk menuangkan buah pikiran secara teratur dan terorganisasi. Oleh karena itu peserta didik harus diberi latihan agar mampu menuangkan ide tersebut secara kreatif dan imajinatif. Salah satu keterampilan menulis yang selalu menjadi kendala bagi peserta didik adalah keterampilan menulis paragraf induktif dan deduktif. Hal ini disebabkan rendahnya kemampuan peserta didik dalam bahasa Indonesia, terlihat dari penguasaan kosakata yang terbatas, sehingga sulit dalam mengembangkan ide atau gagasan, dan penyusunan ide dalam paragraf sering tidak logis.
Untuk menulis paragraf induktif dan deduktif, kosakata memiliki peranan yang sangat penting. Semakin kaya kosakata yang dimiliki maka semakin besar pula kemungkinan orang itu terampil menulis. Kosakata berkaitan dengan perbendaharaan dan pengetahuan seseorang tentang suatu kata. Selain itu pengetahuan kosakata berkaitan dengan pengetahuan tentang jenis-jenis makna, seperti sinonim, antonim, homonim, hiponim dan hipernim. Dengan memahami berbagai jenis makna tersebut, akan membantu peserta didik dalam menulis paragraf induktif dan deduktif, berkaitan dengan pemngembangn ide, ketepatan kata dan pemilihan kata.
Kata kunci : keterampilan menulis, kosakata, paragraf, induktif, deduktif, makna kata.

A.                PENDAHULUAN

   Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan agar peserta didik terampil berkomunikasi. Peserta didik dilatih lebih banyak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, bukan dituntut lebih banyak menguasai atau menghafalkan pengetahuan tentang bahasa melainkan terampil berbahasa. Keterampilan berbahasa terdiri atas empat komponen, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan berbahasa tersebut memiliki hubungan yang sangat erat dan saling mendukung satu sama lain. Peserta didik yang terampil menyimak, akan memiliki dan menyimpan informasi yang bisa disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Peserta didik yang terampil berbicara, biasanya memiliki kemampuan menyampaikan informasi, kehendak, kebutuhan dan keinginan kepada orang lain secara langsung karena memiliki bekal berbahasa yang diperoleh dari menyimak dan membaca. Peserta didik yang terampil membaca akan memperoleh pengalaman dan pengetahuan dari apa yang telah dibacanya, dan dapat dimanfaatkan untuk berbicara dan menulis. Sedangkan peserta didik yang terampil menulis, mampu menuangkan ide, gagasan atau pemikiran yang telah diperoleh dari menyimak, berbicara, dan membaca kepada orang lain secara tidak langsung dengan baik.
   Kegiatan menulis memiliki banyak manfaat yang bisa dipetik oleh peserta didik. dengan menulis peserta didik diharapkan dapat mengetahui sejauh mana pengetahuannya tentang suatu topik, untuk mengembangkan topik itu peserta didik harus berpikir, menggali pengetahuan dan pengalaman yang telah dimilikinya. Melalui kegiatan menulis peserta didik dapat mengembangkan berbagai gagasan. Peserta didik harus bernalar menghubungkan serta membandingkan satu fakta dengan fakta yang lain. Kegiatan menulis memaksa peserta didik lebih banyak menyerap, mencari, serta menguasai informasi sehubungan dengan topik yang mereka tulis.
Salah satu keterampilan menulis yang terdapat dalam kurikulum bahasa Indonesia tingkat SMK adalah keterampilan menulis paragraf induktif dan deduktif. Paragraf induktif dan deduktif merupakan paragraf yang mencerminkan cara berpikir atau bernalar seseorang dalam menyampaikan sesuatu. Dalam pembelajaran  menulis paragraf induktif dan deduktif sering kita temui peserta didik yang  masih menghadapi sejumlah masalah dalam menulis, seperti peserta didik masih memiliki kemampuan yang rendah dalam bahasa Indonesia, hal ini terlihat dari penguasaan kosakata yang terbatas, sulit dalam mengembangkan ide atau gagasan, dan penyusunan ide dalam paragraf sering tidak logis atau tidak berkaitan antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya.
Keterampilan menulis sangat berkaitan dengan pengetahuan kosakata yang dimiliki seseorang. Semakin kaya kosakata yang dimiliki maka semakin besar pula kemungkinan orang itu terampil menulis. Pengetahuan terhadap kosakata adalah mutlak diperlukan oleh setiap pemakai bahasa, selain merupakan alat penyalur gagasan, penguasaan terhadap sejumlah kosakata dapat memperlancar arus informasi yang diperlukan melalui komunikasi lisan maupun tulisan. Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana peranan kosakata dalam menulis paragraf induktif dan deduktif.
Menulis merupakan bagian yang sangat penting dalam keterampilan berbahasa. Menulis adalah kegiatan penyampaian pesan (gagasan, perasaan, atau informasi) secara tertulis kepada pihak lain. Dalam kegiatan berbahasa menulis melibatkan empat unsur, yaitu penulis sebagai penyampai pesan, pesan atau isi tulisan, medium tulisan, serta pembaca sebagai penerima pesan.
Tarigan (2005:3-4) menyatakan bahwa keterampilan menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis ini sang penulis haruslah terampil memanfaatkan pengetahuan tentang grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata. Keterampilan menulis ini tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktik yang banyak dan teratur.
Menulis memiliki mamfaat yang besar bagi kehidupan. Senada dengan hal itu Dalman (2012:2) mengatakan bahwa menulis memiliki banyak mamfaat diantaranya, yaitu peningkatan kecerdasan, pengembangan daya inisiatif dan kreatif, penumbuhan keberanian, dan pendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Menulis juga sangat penting bagi peserta didik. dengan menulis peserta didik untuk berpikir aktif dan kreatif.


Suriamiharja (1996:46) mengutip pendapat dari Akhadiah, dkk, menjelaskan bahwa dalam paragraf terkandung satu unit buah pikiran yang didukung oleh semua kalimat utama atau kalimat topik, kalimat penjelas sampai kalimat penutup. Sedangkan Arifin dan Tasai (2009:115) berpendapat bahwa paragraf adalah seperangkat kalimat yang membicarakan suatu gagasan atau topik. Berdasarkan letak kalimat topik Arifin dan Tasai ( 2009:124) membagi paragraf menjadi paragraf induktif dan deduktif. Paragraf yang meletakkan kalimat topik diakhir paragraf disebut dengan paragraf induktif, sedangkan paragraf yang meletakkan kalimat topik pada awal paragraf disebut paragraf deduktif.
Keterampilan menulis paragraf induktif dan deduktif adalah suatu bentuk kemampuan seseorang dalam menyampaikan pikirannya. Berpikir secara induktif merupakan cara berpikir yang bertolak dari peristiwa khusus (berupa fakta, data, dan rincian) lalu diikuti oleh peristiwa yang bersifat umum (berupa kesimpulan). Dalman (2012:97) menyatakan bahwa “paragraf induktif adalah paragraf yang menyajikan penjelasan terlebih dahulu, barulah diakhiri dengan permasalahan paragraf”. Berpikir secara deduktif adalah cara berpikir yang bertolak dari pernyataan umum(berupa kesimpulan) lalu diikuti oleh pernyataan khusus (berupa fakta, data, dan rincian). Dalman (2012:97) lebih lanjut menyatakan bahwa “paragraf deduktif adalah alinea yang menyajikan pokok permasalahan terlebih dahulu, lalu diikuti oleh uraian atau rincian permasalahan alinea”.
Peserta didik yang terampil menulis paragraf induktif dan deduktif, akan mampu mengungkapkan pikiran dengan baik dan teratur. Akan tetapi, keterampilan menulis paragraf membutuhkan pengetahuan yang lebih mendalam tentang kosakata, agar ide yang disampaikan kaya dengan informasi.
Kata menduduki posisi yang sangat penting dalam keterampilan berbahasa. Hal ini didukung oleh pendapat Tarigan (2011:2) yang menyatakan bahwa, kualitas keterampilan berbahasa seseorang bergantung kepada kuantitas dan kualitas kosakata yang dimilikinya. Oleh sebab itu keterampilan mengungkapkan dan menerima ide dengan baik sangat berhubungan dengan kosakata. Penguasaan kosakata dalam satu bahasa berhubungan dengan jumlah kata yang harus dikuasai agar seseorang dapat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan pemilihan kata serta pemakaiannya sesuai dengan konteks komunikasi.
Setiap gagasan pikiran atau perasaan dituliskan dalam bentuk kata-kata. Kata adalah perwujudan suatu perasaan dan pikiran yang digunakan dalam bahasa lisan atau tulisan. Untuk dapat menyampaikan gagasan, ide dan pikiran dalam paragraf, seseorang perlu memiliki perbendaharaan kata yang memadai dan pemilihan kata yang tepat. “Dalam memilih kata itu harus diberikan dua persyaratan pokok, yaitu ketepatan, dan kesesuaian” (Suriamiharja, 1996 : 25).

B. PEMBAHASAN
Kosakata memiliki peranan yang sangat penting dalam pembelajaran menulis paragraf induktif dan deduktif, karena pada dasarnya kegiatan menulis adalah kegiatan menyusun kata-kata menjadi rangkaian kalimat yang berarti atau bermakna. Untuk mengembangkan ide dalam menulis paragraf induktif dan deduktif dibutuhkan banyak perbendaharaan kata dan pengetahuan tentang kata-kata yang digunakan tersebut. Misalnya, peserta didik ingin mengembangkan topik tentang pencemaran lingkungan, maka semua kata yang berkaitan dengan pencemaran dan lingkungan harus dikuasai dengan baik oleh peserta didik. Hal ini dimaksudkan agar ide dan gagasan yang dikembangkan dalam paragraf memiliki kesatuan yang utuh antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya. Dengan menguasai kata-kata yang saling berkaitan tentang suatu topik akan membantu peserta didik menciptakan paragraf yang logis dan bermakna.
            Untuk memperkaya kosakata peserta didik banyak cara yang dapat dilakukan, diantaranya, (1) memperkenalkan sinonim dan antonim kata atau frase, (2) memperkenalkan imbuhan, (3) mengira dan mereka-reka makna kata dari konteks, (4) menjelaskan arti sesuatu yang abstrak dengan mempergunakan bahasa daerah, (5) meningkatkan minat baca peserta didik, membaca dapat memperkaya kosakata peserta didik (Usman, 1980:21). Sedangkan Tarigan (1985:23) mengutip pendapat Dale dan kawan-kawan, yang mengemukakan beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam pengembangan kosakata peserta didik, yaitu (1) ujian sebagai pengajaran, (2) petunjuk konteks, (3) sinonim, antonim, hiponim, (4) asal usul kata, (5) prefiks, (6) sufiks), (7) akar kata, (8) ucapan dan ejaan, (9) semantik, (10) majas, (11) sastra dan pengembangan kosakata, (12) pengguanaan kamus, dan (13) permainan kata.
Pembelajaran kosakata terhadap peserta didik hendaknya disertai dengan pembelajaran terhadap makna kata. Ilmu yang mempelajari tentang makna kata dalam ilmu bahasa disebut dengan semantik. Menurut Tarigan (2011:147) hubungan semantik dengan pembelajaran kosakata sangat erat. Telaah semantik menyarankan kepada para guru betapa pentingnya pengalaman dalam penginterpretasian kata. Pengalaman mempengaruhi persepsi maupun konsepsi kita. Para peserta didik menginterpretasikan kata-kata berdasarkan pengalamannya pada masa lalu. Para peserta didik mempunyai latar belakang pengalaman yang kaya dan akan membawa banyak persepsi dan konsepsi terhadap kata-kata yang mereka temui.
Kajian makna yang berkaitan dengan pembelajaran dan pengembangan kosakata peserta didik dapat berupa sinonim, antonim, homonim, hiponim, dan hipernim. Dalam kajian semantik kelima istilah itu disebut dengan relasi makna. Manaf (2010: 97) menyatakan bahwa kajian tentang sinonim, antonim, homonim,  hiponim dapat digunakan untuk mengembangkan kosakata pemakai bahasa.
Sinonim merupakan kata-kata yang memiliki makna dasar yang sama. Tarigan (1986:17) mengatakan bahwa sinonim adalah kata-kata yang mengandung makna pusat yang sama tetapi berbeda dalam nilai rasa, atau dapat dikatakan bahwa sinonim merupakan kata-kata yang mempunyai denotasi yang sama tetapi berbeda dalam konotasi. Manaf (2010:80-81) mengutip pendapat Cruse yang mengartikan sinonim sebagai pasangan atau kelompok butir leksikal yang mengandung kemiripan makna antara satu dengan yang lain, contoh meninggal, gugur, mangkat, wafat, mati, dan mampus.
Sinonim membantu peserta didik menyampaikan gagasan umum tentang suatu kata, dan dapat juga membantu peserta didik membuat perbedaan-perbedaan yang tajam dan tepat antara makna kata-kata tersebut. Sebenarnya peserta didik tidak mudah melakukan pembedaan-pembedaan yang tepat antara satu sinonim dengan sinonim yang lainnya. Peserta didik harus memperhatikan perbedaan makna kata-kata dengan tepat berdasarkan kelompok dan konteks pemakainnya. Misalnya,kata senang memiliki sinonim dengan suka, gembira, ria, ceria, riang, suka cita, gembira ria, riang gembira, suka ria, suka hati. Walaupun kata-kata tersebut memiliki makna dasar yang sama, tetapi berbeda pemakain dan nilai rasanya.
Dalam pembelajaran menulis paragraf induktif dan deduktif, sinonim membantu peserta didik untuk menghindari pengulangan kata dan penggunaan kata yang berlebihan. Contohnya dapat kita lihat pada paragraf induktif di bawah ini.
Dua anak kecil ditemukan tewas di pinggir Jalan Jenderal Sudirman. Seminggu kemudian, seorang anak wanita ditemukan tidak bernyawa di pingir sungai. Sehari setelah itu, polisi menemukan bercak-bercak darah di kursi belakang, mobil John. Polisi mendapatkan bukti berupa potret dua orang anak yang tewas di Jalan Jenderal Sudirman di dalam kantung celana John. Polisi  juga memperoleh bukti di dalam mobil John selembar sapu tangan milik anak wanita yang ditemukan telah meninggal di pinggir sungai. Dengan demikian, John adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban tentang hilangnya tiga anak itu.
Adapun kata-kata yang bersinonim dari paragraf di atas, adalah kata tewas bersinonim dengan tidak bernyawa dan meninggal. Kata kemudian bersinonim dengan setelah itu. Kata menemukan bersinonim dengan mendapatkan dan memperoleh. Pemahaman terhadap sinonim membantu peserta didik memperkaya wawasannya tentang suatu kata. Dan mempermudah peserta didik dalam mengembangkan ide atau gagasan.
Sementara itu, antonim yang merupakan bagian dari pembelajaran kosakata juga memiliki peranan penting dalam menulis paragraf induktif dan deduktif. Antonim adalah kata yang mengandung makna yang  berlawanan dengan kata yang lain. Antonim merupakan suatu cara yang efektif untuk meningkatkan perbendaharaan serta kosakata peserta didik (Tarigan, 1985:37). Chaer (2009:88) dengan mengutip pendapat Verhaar mendefinisikan antonim sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus berantonim dengan kata buruk, kata besar berantonim dengan kata kecil. Pemahaman tentang antonim dapat membantu peserta mengelompokkan dan menggunakan dengan tepat kata-kata yang berlawanan makna dalam paragraf. Pemakaian kata berantonim dapat kita lihat pada contoh paragraf deduktif di bawah ini.
Penggunaan internet di kalangan remaja mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah berbagai informasi yang sifatnya memperluas wawasan, dapat diakses para remaja di luar jam sekolah. Dampak negatifnya adalah informasi tentang pornografi, kekerasan, rasialisme, perjudian, serta berita-berita menyesatkan sangat mudah diakses oleh mereka.

   Dari contoh diatas dapat kita lihat beberapa kata yang merupakan kata yang berantonim. Misalnya, kata positif dengan negatif, kata memperluas wawasan berlawanan makna dengan kata menyesatkan. Dari contoh kata memperluas wawasan dengan kata menyesatkan, dapat kita jelaskan kepada peserta didik, bahwa antonim tidak selalu merupakan benar-benar lawan kata dari kata tersebut, tetapi dapat berlawanan secara makna dalam konteks pemakainnya.
Pengetahuan  mengenai homonim turut memperkaya serta mengembangkan kosakata peserta didik. Chaer (2009:88) masih mengutip pendapat Verhaar mendefinisikan homonim sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama, misalnya antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, dapat’. Pengetahuan tentang homonim membantu peserta didik menggunakan kata dalam paragraf sesuai dengan konteks pembicaraannya.
Selanjutnya hiponim dan hipernim. Mengkaji hiponim tidak dapat mengabaikan tentang konsep hipernim. Chaer (2009:98) menyatakan bahwa hiponim dan hipernim mengandaikan adanya  kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada dibawah makna kata lainnya. Karena itu, adanya kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernim terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hirarkial berada di atasnya. Umpamanya kata ikan yang merupakan hipernim terhadap kata tongkol, bandeng, cakalang, dan mujair akan menjadi hiponim terhadapa kata binatang. Selanjutnya kata binatang merupakan hiponim terhadap kata makhluk, sebab yang termasuk mahkluk bukan hanya binatang tetapi juga manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Hipernim adalah kata-kata yang mewakili banyak kata lain. Kata hipernim dapat menjadi kata umum dari penyebutan kata-kata lainnya. Sedangkan hiponim adalah kata-kata yang terwakili artinya oleh kata hipernim. Umumnya kata-kata hipernim adalah suatu kategori dan hiponim merupakan anggota dari kata hipernim.
Dalam  menulis paragraf induktif dan deduktif, peserta didik akan mampu mengembangkan kata-kata yang bersifat umum menjadi kata-kata yang bersifat khusus dengan memahami makna secara hiponim dan hipernim. Misalnya peserta didik akan mengembangkan paragraf dengan tema “ Objek wisata yang terdapat di Sumatera Barat”. Dengan konsep hiponim dan hipernim, peserta didik akan mendata jenis-jenis objek wisata yang ada di Sumatera Barat. Dari jenis-jenis tersebut peserta didik akan menguraikan lagi menjadi bagian yang lebih khusus, misalnya objek wisata berupa tempat-tempat pemandian, objek wisata berupa tempat bersejarah, dan ojek wisata berupa pemandangan alam. Bagian-bagian khusus tersebut dalam paragraf masih dapat diuraikan lagi dengan memberikan contoh-contoh.
Pengetahuan tentang sinonim, antonim, homonim, hiponim dan hipernim yang merupakan bagian dari kosakata, sangat berperan dalam menulis paragraf induktif dan deduktif. Ketepatan, kelogisan, dan kebermaknaan dari kata-kata yang disusun menjadi rangkaian kalimat, kalimat menjadi paragraf sangat ditentukan oleh pengetahuan kosakata yang dimiliki. Semakin baik kosakata yang dimilik, semakin baik pula kemampuan menulisnya.
Pengetahuan kosakata yang luas juga membantu peserta didik dalam mengembangkan penalarannya menulis paragraf induktif dan deduktif. Diperlukan perbendaharaan kata agar kemampuan mengembangkan ide menjadi tak terbatas. Oleh karena itu, guru sebagai pembimbing hendaknya dapat memanfaatkan pembelajaran kosakata untuk meningkatkan dan mengembangan keterampilan menulis bagi peserta didik.
              
C.  SIMPULAN DAN SARAN
1.    Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa kosakata sangat berperan terhadap kemampuan menulis peserta didik. Peserta didik yang kaya akan kosakata, akan mudah mengemukakan ide dan gagasanya dalam bentuk paragraf induktif dan deduktif. Perbendaharaan akan kosakata akan membantu peserta didik dalam mengembangkan penalarannya. Akan tetapi peserta didik harus memahami pengetahuan yang berkaitan dengan kosakata, seperti pengetahuan tentang sinonim, antonim, homonim, hiponim, dan hipernim, dan jenis makna yang lain.

2.    Saran
Berkaitan dengan peranan kosa kata dalam menulis paragraf induktif dan deduktif, penulis menyarankan agar guru lebih memperhatikan dan memperdalam pembelajaran kosakata bagi peserta didik. Dengan pemahaman kosakata yang baik, maka keterampilan menulis akan berkembang dengan baik, tentunya dengan memperhatikan aspek kebahasaan yang lain.

DAFTAR RUJUKAN
Arifin, E. Zaenal, dan S. Amran Tasai. 2009. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dalman. 2012. Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: PT Raja Grafindi Persada.
Manaf, Ngusman Abdul. 2010. Semantik Bahasa Indonesia. Padang: UNP Press.
Suriamiharja, Agus, dkk. 1996. Petunjuk Praktis Penulis. Jakarta: Depdikbud.
Tarigan, Hendri Guntur. 2011. Pengajaran Kosakata. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Hendri Guntur. 2005. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Djago. (1996). Membina Keterampilan Menulis Paragraf dan Pengembangan. Bandung:  Angkasa.
Tarigan, Hendri Guntur. 1986. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. (1983). Menulis sebagai suatu Keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa.
Usman, Amir Hakim, dkk. 1979. Ilmu Kosakata. Padang: FPBS IKIP Padang.

Jumat, 14 Oktober 2011

tempatku bercerita


mengingatmu... mampu titikkan air mataku
mengadu padamu kuatkan jiwaku
kau tahu aku bersusah..kau tahu aku resah..
kau adalah kelana yang paling indah....walau terkadang aku lupa padamu saat fana tak henti merayu ku.


Minggu, 09 Oktober 2011

kota kecil

kota kecil di kaki bukit
penuh kabut, gerimis, dan embun.....
dinginmu setiap kali menyapa wajahku
kau telah menguraikan
beribu cerita tentangku 
mengiringi setiap langkahku
kau dingin...tapi hangatkan hatiku
simpanlah semua misteriku
sampai ku menguak takdirku
kota kecil berkabut.. gerimis dan embun...