Minggu, 21 Juli 2013


ANALISIS KEMAMPUAN SINTAKSIS BAHASA KEDUA
 ANAK USIA 5-6 TAHUN  TAMAN KANAK-KANAK (TK) ALQURAN
KOTA PADANG PANJANG

Mezri Helti

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang 2012

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan sintaksis bahasa kedua pada anak-anak usia 5-6 tahun. Subjek penelitian adalah peserta didik Taman Kanak-kanak (TK) Alquran Kota Padang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak usia 5-6 tahun pada TK Alquran, memiliki kemampuan menghasilkan kalimat tunggal dan kalimat majemuk, serta mampu menggunakan bentuk kalimat berita, kalimat tanya, kalimat perintah, dan kalimat seru. Kemampuan bahasa kedua pada anak masih dipengaruhi oleh bahasa ibu. akibatnya muncul campur kode dan alih kode dalam tuturan yang dihasilkan oleh anak. Anak-anak akan memilih menggunakan bahasa kedua, yaitu bahasa Indonesia jika berinteraksi dengan guru. Sementara itu, anak akan memilih menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa Minang jika berkomunikasi dengan teman sebaya. Anak usia 5-6 telah memiliki kemampuan menghasilkan kalimat dalam bahasa kedua dan menggunakannya sesuai dengan konteks serta lawan bicara.

Kata kunci    : pemerolehan bahasa, kemampuan sintaksis, bahasa ibu, bahasa kedua campur kode, dan alih kode.
A.  PENDAHULUAN

Setiap manusia dalam kehidupannya setidaknya memperoleh satu bahasa alamiah. Setiap anak yang tumbuh normal dan pertumbuhannya wajar memperoleh satu bahasa yaitu bahasa pertama atau bahasa asli (bahasa ibu) dalam tahun-tahun pertama kehidupannya. Akan tetapi dalam perkembangannya seorang anak bisa saja menggunakan dua bahasa semenjak ia lahir, misalnya apabila ayah berbahasa Sunda, dan ibu berbahasa Jawa maka dalam hal ini masih disebut pemerolehan bahasa pertam, namun bukan satu tetapi dua bahasa atau dwi bahasa yang merupakan bahasa pertama.
Pemerolehan bahasa anak terjadi secara bertahap. Terkait dengan hal tersebut, Darjowidjojo (dalam Tarigan, dkk., 1998) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa anak itu tidaklah tiba-tiba atau sekaligus, tetapi bertahap. Kemajuan kemampuan berbahasa mereka berjalan seiring dengan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosialnya. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak ditandai oleh keseimbangan dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana tak bermakna, dan celotehan bayi merupakan jembatan yang mefasilitasi alur perkembangan bahasa anak menuju kemampuan berbahasa yang lebih sempurna. Bagi anak, celoteh merupakan semacam latihan untuk menguasai gerak artikulatoris (alat ucap) yang lama kelamaan dikaitkan dengan kebermaknaan bentuk bunyi yang diujarkannya.
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).
Tarigan (2011:103) berpendapat bahwa pembelajaran bahasa kedua pada anak dimulai apabila pemerolehan bahasa pertama telah lewat, akan tetapi dalam hal ini sangat sulit menentukan batas yang pasti dan nyata antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua, selain adanya alasan sederhana bahwa pemerolehan bahasa kedua mulai sebelum pemerolehan bahasa pertama menjelang akhir.
Bahasa pertama dapat mempengaruhi penggunaan bahasa kedua. Dalam pembelajaran bahasa kedua seorang anak terkadang masih mencampurkan pemakaian kosakata bahasa pertama dengan bahasa kedua, selain itu terjadi juga kesalahan dalam penyusunan kalimat dan pengucapan bahasa kedua, yang dipengaruhi oleh penyusunan kalimat dan pengucapan bahasa pertama. Hal ini juga ditegaskan oleh Corder (1976) dalam Ellis (1995) yang menyatakan bahwa peserta didik membentuk hipotesis tentang sifat struktural dari bahasa target berdasarkan data input. Dari pernyataan Corder tersebut, bahwa anak-anak membangun bahasa keduanya berdasarkan pengetahuan pada bahasa pertama.
Mengacu pada penguasaan bahasa kedua, menurut Ellis (dalam Chaer. 2003: 243), ada dua tipe pembelajaran bahasa, yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat. Tipe kedua bersifat formal dalam kelas, namun kenyataannya hasilnya masih belum memuaskan.
Anak usia 5 tahun, perkembangan bahasanya telah mencapai tingkat yang semakin baik dan sempurna. Anak telah memiliki perbendaharaan kosakata yang kaya dan pembentukan kalimat yang bervariasi. Terkait dengan itu, Tompkins dan Hoskisson dalam Tarigan dkk. (1998) menyatakan bahwa bahasa anak umur 5-6 tahun telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian besar aturan gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin bervariasi. Anak telah mampu menggunkan bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai keperluan, termasuk bercanda atau menghibur. Demikian juga dengan pemerolehan bahasa keduanya. Anak-anak membangun pengetahuannya tentang bahasa kedua dengan belajar dan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan.
Penelitian yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa telah banyak dilakukan. Diantaranya yaitu, pertama penelitian yang dilakukan oleh Catur Adi Wicaksono yang berjudul “ Pemerolehan Kalimat pada Anak Autis Slow Learner di SDN Klampis Ngasem 1 No 246 Surabaya Suatu Studi Kasus”.  Dari hasil penelitiannya Catur menyimpulkan bahwa pemerolehan kalimat pada anak Autis Slow Learner masih tergolong sangat sederhana. Hal tersebut ditandai dengan adanya kemampuan ujarannya yang hanya sebatas ujaran satu kata dan dua kata. anak sering melesapkan fungsi subyek dalam ujarannya. Hasil dari ujaran kemudian dikategorikan ke dalam bentuk-bentuk kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat eksklamatif. Peneliti menggolongkan kalimat yang mampu dihasilkan anak Autis Slow Learner ke dalam kalimat tunggal yang ber-nomina, verba, adjectival, dan numeral. Hasilnya, tidak ada kalimat yang menggunakan unsur numeral dalam ujarannya.
            Kedua, penelitian yang dilakukan oleh  Dyah Rahmawati, dkk. Yang berjudul “Penguasaan Kosakata Bahasa Indonesia pada Anak Usia Prasekolah”. Dari hasil penelitiannya Diyah Rahmawati, ddk. menemukan bahwa kuantitas ragam kosakata bahasa Indonesia pada anak usia prasekolah berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor usia, jenis kelamin, dan kondisi lingkungan keluarga. Di samping itu, perbedaan masukan (input) yang diterima masing-masing anak juga turut berpengaruh dalam kuantitas ragam kosakata yang dikuasai anak. Pada ruang lingkup kosakata bahasa Indonesia yang dikuasai anak usia prasekolah, ditemukan tiga puluh ruang lingkup kosakata bahasa Indonesia yang telah dikuasai anak. Tiga puluh ruang lingkup tersebut mengacu pada hal-hal yang bersifat konkret atau nyata. Ketiga puluh ruang lingkup kosakata tersebut di antaranya adalah nama diri, kekerabatan, ukuran, jenis tanaman, keadaan, bilangan, profesi, persetujuan/penolakan, jenis kelamin, aktivitas, perlengkapan diri, barang elektronik, nama-nama hari, jenis buah-buahan, jenis-jenis warna, makanan dan minuman, perabot rumah tangga, benda-benda universal, perlengkapan sekolah, jenis-jenis mainan, jenis-jenis binatang, bagaian-bagian tubuh, transportasi, jenis-jenis sayuran, teknologi, agama, tempat, tujuan, rasa, dan bentuk.
            Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Agung Prestyo, dkk, yang  berjudul “Analisis Kemampuan Penguasaan Kosakata Baru pada Anak Pos Paud Mutiara Semarang Melalui Metode Glenn Doman”. Agung Prastyo, dkk, menyimpulkasn bahwa metode yang tepat diterapkan untuk mengajarkan kemampuan membaca pada anak usia dini adalah metode Glenn Doman. Metode Glenn Doman menggunakan Flash Cards sebagai media belajar utama yakni berupa gambar tersaji dalam bentuk kartu yang terbuat dari kertas. Dalam penelitian ini dilakukan 4 tahap pengajaran, yaitu: Tahap I (Latihan Perbedaan Penglihatan), Tahap II (Pengenalan Diri), Tahap III (Rumahku), dan Tahap IV (Gabungan 2 Kata). Pada setiap kelanjutan tahap, ukuran kertas Flash Cards yang digunakan akan semakin mengecil tetapi tidak secara signifikan. Metode ini diterapkan secara bertahap dan dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Di setiap pertemuan, murid-murid mempelajari 5 kosa kata baru dalam waktu 1 detik, diulang sebanyak 3 kali dalam satu putaran, dan akan diulang lagi 3x putaran dengan jeda 1,5 jam. Dalam praktiknya ditemukan perubahan signifikan terhadap pencapaian hasil belajar membaca pada anak usia dini.
Penelitian yang telah dilakukan di atas, menunjukkan bahwa anak menguasai bahasa secara bertahap sesuai dengan umur dan perkembangan mentalnya. Selain itu, analisis penguasaan bahasa pada anak dapat dilakukan dengan metode tertentu, seperti metode Glenn Doman. Sementara itu, penelitian yang penulis lakukan berkaitan dengan kemampuan sintaksis bahasa kedua pada anak usia 5-6 tahun. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kemampuan sintaksis bahasa kedua anak usia 5-6 tahun di TK Alquran Kota Padang Panjang, dan bagaimana pengaruh bahasa ibu terhadap kemampuan sintaksis tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar